Polemik Pengusaha SPBU Dengan Pemkot, Komisi B DPRD Surabaya Kunjungi Kantor BPK RI Perwakilan Provinsi Jatim

Kabarjagad, Surabaya – Komisi B DPRD Surabaya mengunjungi  Kantor BPK RI Perwakilan Provinsi Jatim, untuk konsultasi penyelesaian  polemik antara pengusaha SPBU dengan Pemkot Surabaya terkait tagihan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPD-KB) reklame  sebesar Rp 26 miliar. Rabu (10/9/2025).

Para pengusaha SPBU di Surabaya sebenarnya sudah membayar lunas pajak reklame pada 2019, 2020,2021, 2022, 2023. Pembayaran itu didasarkan pada Surat Keterangan Pajak Daerah (SKPD) resmi yang dikeluarkan  Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Surabaya. Namun akhir 2023 muncul masalah ketika  pengusaha SPBU menerima tagihan SKPD Kurang Bayar (SKPD-KB) sebesar Rp 26 miliar. Kenaikan  signifikan yang disebabkan oleh penambahan atau perubahan cara penghitungan objek pajak  oleh Pemkot Surabaya tanpa adanya sosialisasi terlebih dahulu Inilah yang membuat para pengusaha SPBU yang tergabung dalam asosiasi  Himpunan Wiraswasta  Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) Kota Surabaya  kaget setengah mati dan menolak melakukan pembayaran.

Sebelum konsultasi ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Provinsi Jatim,  Komisi B sudah memfasilitasi  penyelesaian polemik tersebut  dengan menggelar dua kali hearing, termasuk mengundang tiga pakar hukum yakni Prof Dr Rr Herini Siti Aisyah, SH. MH (Universitas Airlangga Surabaya), Dr Sukadi SH. MH (Universitas Airlangga Surabaya) dan Dr Himawan Estu Bagiyo SH.MH (Universitas Wisnuwardhana Malang).

Terkuaknya tagihan kurang bayar tersebut karena Pemkot Surabaya mengikuti hasil audit BPK yang menyatakan bahwa ada objek yang kurang bayar. Maka para pakar hukum menyarankan Komisi B DPRD Kota Surabaya dan Pemkot Surabaya konsultasi lebih dulu ke BPK, sehingga kebijakan tersebut tidak merugikan semua pihak.

Saat rapat konsultasi ke BPK, Rabu (10/9/2025),  Komisi B yang hadir adalah Mohammad Faridz Afif (ketua), Moch Machmud (wakil ketua), Ghofar Ismail (sekretaris), Agoeng Prasodjo, Yuga Pratisabda  Widyawasta Bagas Imam Waluyo,Hj Enny Minarsih, dan Saiful Bahri. Sedangkan dari Pemkot Surabaya,  Ahmad Basari (Kepala Bapenda), Ikhsan (Inspektorat) dan Wiwiek Widayati Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Surabaya. Lantas apa hasil konsultasi ke BPK tersebut?

Wakil Ketua Komisi B, Moch Machmud menyampaikan, pihaknya sudah konsultasi ke BPK atas laporan pengusaha SPBU di Surabaya yang keberatan terhadap listplang SPBU yang dianggap sebagai objek pajak.

Menurut politisi Partai Demokrat ini keputusan BPK memang sudah final. Tapi masih ada peluang bagi pengusaha SPBU untuk mengajukan surat keberatan ke Pemkot Surabaya. Listplang itu  kan keliling empat sisi, yakni sisi belakang, samping kanan dan kiri.  Tiga sisi ini tidak menarik karena definisi iklan itu adalah mempromosikan produk dan menarik.

“BPK menyarankan, pengusaha SPBU dipersilakan mengirim surat keberatan ke Bapenda, bukan ke BPK. Berdasarkan (surat keberatan) itu nanti akan dipertimbangkan oleh Bapenda,” tandas Machmud.

Berarti listplang sebagai objek pajak reklame  ada peluang untuk dihapus?  Machmud menegaskan tidak dihapus, tapi luasannya berkurang. “Sekarang ini kan masih keliling empat sisi (depan, belakang, samping kanan dan kiri).Mungkin nanti jadi satu, yakni sisi depan saja,” imbuh dia.

Machmud mengatakan, BPK berpegang pada Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Wali Kota (Perwali). Hanya saja, kan timbul persepsi macam-macam. Semua tergantung persepsi dan penilaian kalau listplang tersebut dianggap objek pajak reklame. Sedangkan menurut pengusaha SPBU, listplang warna merah dan putih itu melambangkan nasionalisme bendera merah putih, bukan desain produk Pertamina. Kalau produk Pertamina itu warnanya ada hijau, merah, dan biru. “Di listplang kan tidak ada warna produknya. Menurut saya masuk akal jika pengusaha SPBU keberatan karena merah putih itu lambangnya bendera. Tapi, BPK tetap kenceng kalau itu bagian dari reklame,” ungkap dia.

Lebih lanjut Machmud menjelaskan, ya harus sesuai definisi reklame, yakni yang menarik perhatian orang itu baru dianggap reklame. nanti akan kita kawal permohonan keberatan pengusaha SPBU ke Pemkot Surabaya, bagaimana bisa dibantu agar luasan  yang dibayar tidak sebanyak itu.

Selain luasan yang menjadi objek pajak reklame, para pengusaha SPBU juga keberatan atas  tagihan kurang bayar sebesar Rp 26 miliar. “Ada perbedaan pandangan  soal penghitungan tagihan pajak kurang bayar. Kalau versi BPK tagihannya sejak ditemukan, yakni 2023, 2024, 2025. Tapi versi Pemkot Surabaya tagihan dihitung mundur lima tahun ke belakang, yaitu  mulai 2019, 2020, 2021, 2022, dan 2023, terungkap data tidak sinkron antara BPK dengan pemkot. BPK sendiri tidak mau ikut campur versinya pemkot, jadi BPK menghitung sejak ada temuan, yakni 2023 ke depan (2024 dan 2025),” ucapnya.

Tapi bagaimana dengan pendapat pakar yang menyatakan tidak boleh berlaku surut atau mundur, Machmud menyebut memang seperti itu, SKPD-KB tidak bisa berlaku surut. Termasuk menurut BPK juga. “Jadi, ini inisiatif dari Bapenda sendiri untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Makanya BPK menagih sejak ada temuan, yakni pada 2023.  Itu yang harus dibayar, tapi sampai 2024 dan 2025 belum dibayar, sehingga  pengusaha SPBU diingatkan terus,” ujar dia.

Kalau versi BPK,  berdasarkan temuan 2023, kemungkinan tagihan yang harus dibayar pengusaha SPBU sekitar Rp 1,6 miliar. Tapi jika menurut versi Pemkot Surabaya yang menghitung mundur 2019 hingga 2023, maka tagihannya mencapai Rp 26 miliar. Jadi ada selisih Rp 24,4 miliar.

Sebelumnya pakar hukum dari Universitas Wisnuwardhana Malang, Dr Himawan Estu Bagiyo SH.MH
menjelaskan konsep Perda Reklame. Ini memang satu bentuk pendapatan daerah karena kategorinya  pajak daerah.

Dia menyebutkan polemik yang terjadi di Surabaya. Pada 2019 sudah ditetapkan SKPD yang harus dibayar oleh seluruh pengusaha SPBU di Surabaya. Jadi 2019, 2020, 2021, 2022, dan 2023 sudah dibayar lunas oleh para pengusaha SPBU. Namun di akhir 2023, keluarlah  keputusan namanya SKPD-KB, kurang bayar. Konsepnya ini memang tidak mengubah dasar penetapan. Artinya, regulasinya tetap Perda Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Reklame.

Dari segi hukum, menurut Dr Himawan Estu, ini kemudian terjadi interpretasi yang berbeda antara apa yang sudah ditetapkan di 2019 hingga 2023 yang sudah dibayar, ternyata Pemkot Surabaya mengeluarkan ketetapan ada kurang bayar, tapi regulasinya tetap.
Kurang bayar tersebut karena Pemkot Surabaya mengikuti hasil audit BPK yang menyatakan bahwa ada objek yang kurang bayar.
“Langkah-langkah yang dilakukan Pemkot Surabaya ini dari sisi hukum administratif  kurang tepat atau kurang cermat. Seharusnya ketika ada hasil audit BPK yang menyatakan objek pajak itu  bukan A, tapi B yang menyebabkan harus ada kurang bayar, semestinya melakukan fungsi jawaban, menjawab secara tertulis, “ungkap Dr Himawan Estu.

Setelah menjawab secara tertulis, lanjut dia, seharusnya Pemkot Surabaya konsultasi dengan DPRD. Kenapa? Karena pajak reklame  adalah termasuk pajak daerah yang ditetapkan dalam Perda. Sedangkan  Perda ini kan ditetapkan bersama DPRD. “Sebelum mengeluarkan SKPD-KB seharusnya Bapenda diskusi dengan DPRD. Ini bagian pertama yang secara prosedural  tidak dilampaui oleh Pemkot Surabaya, ” tegas dia.

Kemudian, lanjut dia,  dua pakar lainnya Prof Dr Rr Herini Siti Aisyah SH.MH dan Dr Sukadi SH.MH menyatakan bahwa seharusnya kalau kemudian ada beban baru yang dinyatakan bahwa luasan lingkup pajak yang harus dibayar itu ada perhitungan baru, seharusnya subjek pajak (korban) diajak bicara dulu.
Surabaya.

Dr Himawan Estu menjelaskan konsepnya. Pertama,  menurut dia, konsep pemungutan pajak itu harus memenuhi prinsip negara hukum. Negara hukum itu menjamin kepastian hukum. “Jadi kalau kemudian sudah dibayar kemudian terbit kurang bayar lagi kan tidak ada kepastian. Jangan-jangan besok bayar kurang lagi, ada penghitungan baru. Ini tak ada kepastian hukum. Pemkot harus hati-hati,”pesan dia.

Kedua, prinsip demokrasi. Menurut dia, korban (pengusaha SPBU) ini harus diajak bicara. Jadi sebelum menetapkan kurang bayar, mestinya dirunding dulu agar SPBU-SPBU ini tahu bahwa akan ada ketetapan kurang bayar. Yang mana hitungannya itu mestinya didiskusikan supaya ada  feedback atau umpan balik.

Ketiga, seharusnya pemerintah menjaga efektif dan efisien. (dj) 

Bagikan

Tinggalkan Balasan