Kabarjagad, Madiun – Seruan aksi serentak bertajuk “Masyarakat Madiun Menggugat” yang digelar di depan gedung DPRD Kota Madiun berubah menjadi insiden yang memprihatinkan. Aksi yang awalnya bertujuan menyuarakan tuntutan reformasi DPR dan POLRI justru tercoreng oleh tindakan anarkis dari sejumlah oknum.
Wakapolres Madiun Kota, Kompol I Gusti Agung Ananta Pratama, dalam konferensi pers menyampaikan bahwa sebanyak 91 orang diamankan, terdiri dari anak-anak dan dewasa, dengan 9 orang di antaranya diproses hukum lebih lanjut. Dari sembilan tersebut, satu tersangka dikenakan pasal 187 KUHP atas pelemparan bom molotov, satu lainnya dijerat UU ITE karena menyebarkan hoaks yang memicu kerusuhan, dan tujuh tersangka lainnya terlibat dalam aksi pengerusakan serta pencurian.
“Kami bertindak sesuai aturan hukum yang berlaku. Ini bukan hanya soal penegakan hukum, tapi juga soal menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat,” tegas Wakapolres.
Aksi yang diikuti oleh berbagai elemen masyarakat buruh, mahasiswa, dan warga umum sebenarnya membawa semangat solidaritas. Namun, menurut pihak kepolisian, sebagian besar peserta yang diamankan terindikasi ikut-ikutan karena dorongan media sosial dan fenomena FOMO (Fear of Missing Out). Bahkan, lebih dari 70% yang diamankan adalah anak-anak.
Salah satu tersangka pelempar bom molotov, berinisial FPA, usia 19 tahun, diamankan di tempat kerjanya di Mojorejo, Kecamatan Taman. Ia mengaku terlibat setelah melihat undangan aksi melalui media sosial. Bukti berupa video, pakaian, dan alat peledak telah diamankan sebagai barang bukti.
Kerugian akibat aksi ini ditaksir mencapai lebih dari Rp500 juta, termasuk kerusakan fasilitas umum dan kendaraan. Selain kerugian materiil, insiden ini juga menimbulkan trauma sosial dan kekhawatiran di tengah masyarakat.
Forkopimda Kota Madiun secara tegas mengecam aksi anarkis tersebut dan menyerukan agar masyarakat menyampaikan aspirasi secara damai dan sesuai prosedur hukum. Wakapolres juga mengingatkan orang tua untuk lebih mengawasi anak-anak agar tidak terjerumus dalam aksi yang berpotensi membahayakan.
Aksi sosial adalah hak warga negara. Namun, ketika semangat perubahan dibajak oleh provokasi dan kekerasan, maka pesan perjuangan menjadi kabur. Di tengah era digital, penyebaran informasi yang tidak terverifikasi bisa menjadi pemicu kerusuhan yang tak terkendali.(Gil/djr)