Kabarjagad, Surabaya – Dalam KUHAP 1981 diatur bhw terhadap putusan lepas (onslag) dan bebas (vrijspraak) dari tuntutan hakim tidak dibolehkn Banding. Konsekuensinya, dalam praktik dimaknai: JPU dan Terdakwa boleh langsung Kasasi. Konsekuensi lebih jauh, pengadilan Banding makin berkurang beban pekerjaannya sementara Kasasi makin banyak.
Dalam Praktik, dikenal 2 macam upaya Hukum, upaya Hukum biasa dan luar biasa. Banding dan Kasasi adalah upaya Hukum biasa sedang Peninjauan Kembali (PK) (herziening) adalah upaya Hukum luar biasa.
Peninjauan Kembali (PK) yang didesain bersifat luar biasa justru dimanfaatkn untuk Mengulur-Ngulur waktu saja sebelum Eksekusi dijalankan. Akibatnya,Peninjauan Kembali (PK) nyaris menjadi pengadilan tingkat 4 karena begitu banyak putusan inkracht khususnya Kasasi yang diajukan Peninjauan Kembali (PK) .
Padahal idealnya, putusan Kasasi sudah diterima karena sudah diteliti, diperiksa oleh 9 orang Hakim jika Majelis Hakim terdiri 3 orang- dan diasumsikan tidak mungkin keliru semuanya dan tidak saling bertentangan atau salah menerapkan Hukum dan tidak teliti hingga timbul Novum. Sebagai perbandingan KUHAP Thailand hanya mengatur pengampunan (pardon) dan pengurangan pidana oleh Raja.
Menurut Andi Hamzah, di Nederlabd, salah menerapkan Hukum (rechtsdwaling) oleh Hakim tidak menjadi alasan Peninjauan Kembali (PK) karena tidak mungkin Hakim PN, Banding dan Kasasi keliru semuanya. Andaikata pun terjadi kekeliruan maka alat untuk memperbaikinya adalah Grasi.
Perbandingan lain adalah KUHAP RRC. KUHAP RRC menyebut 4 (empat) alasan Peninjauan Kembali (PK) yaitu:
1. Ada bukti baru yg membuktikan bhw penetapan fakta pada putusan dipastikan salah (ini sama dengan novum)
2. Bukti yg berdasarkan mana putusan dijatuhkan tidak dapat dipercaya dan tidak cukup atau bagian besar pembuktian yg menunjang fakta-2 kasus itu bertentangan satu sama yg lain
3. Penerapan hukum dalam membuat putusan atau penetapan asli dipastikan tdk benar
4. Hakim dalam memutus perkara itu melakukan perbuatan penggelapan, suap, malpraktik untuk mendapatkan keuntungan atau membengkokkan hukum dalam membuat putusan.
Syarat terakhir menunjukkan bhw putusan vrijspraak dapat dimintakan PK di RRC jija dlm membuat putusan itu hakim menerima suap, melakukan penggelapan atau menyalahgunakan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan dengan obstruction of law.
Dalam KUHAP (Sv) Nederland, jaksa agung “mewakili masyarakat”, misalnya terpidana meninggal dunia dan tidak ada ahli warisnya yang mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Sedang di Belgia, Menteri Kehakiman yang dapat memohon Peninjauan Kembali (PK).
Menurut teori, Untuk putusan bebas ada 2 jenis :
A. bebas murni (zuivere vrijspraak)
B. bebas tidak murni (onzuivere vrijspraak).
Ada yang mengartikan juga putusan lepas (onslag van alle rechvervolging) sebagai putusan tidak murni atau dipersamakan dengan lepas dari tuntutan hukum terselubung. Hal ini menimbulkan kekacauan pikiran karena dalam perkara TIPIKOR misalnya, hampir semua perkara TIPIKOR yang diputus bebas semuanya diajukan Kasasi oleh JPU.
Padahal seharusnya dipilah apakah Terdakwa diputus Bebas Murni atau Tidak Murni. Dalam hal ini, Legal reasoning Hakim harus bisa menjelaskannya. Hal ini diperlukan memberi masukan agar dalam rancangan KUHAP (RKUHAP) nanti tidak semua putusan bebas bisa di PK.(@Budi_Rht)












