Kabarjagad, Madiun – Teriakan “PNS Harga Mati!” menggema dari ribuan dosen dan tenaga kependidikan di bawah payung Ikatan Lintas Pegawai Perguruan Tinggi Negeri Baru (ILP PTNB). Mereka bukan sedang bermain sandiwara, melainkan berjuang menuntut pengakuan yang telah tertunda selama lebih dari satu dekade.
Mereka adalah para ASN dari 35 Perguruan Tinggi Negeri Baru yang sebelumnya merupakan Perguruan Tinggi Swasta. Sejak institusi mereka dinegerikan, seluruh aset kampus diserahkan ke negara — dari gedung hingga alat. Tapi satu hal yang tertinggal: manusia di dalamnya.
“Gedung kami dianggap aset negara, tapi kami, SDM yang membangunnya, dianggap barang sementara,” teriak salah satu orator aksi damai di kampus politeknik negeri madiun.

Para dosen dan tenaga kependidikan ini kini berstatus sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Mereka tetap mengajar, meneliti, mengabdi, namun tanpa hak-hak yang setara dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tidak bisa naik jabatan fungsional, studi lanjut tidak diakui, bahkan tidak bisa menduduki jabatan strategis.
Padahal, mereka bukan “orang baru”. Mereka adalah garda depan yang sejak awal membangun institusi dari nol. Tapi kini, mereka merasa seperti “tamu di rumah sendiri”.
“Kami bukan relawan, bukan cadangan birokrasi. Kami adalah ASN sejati,” ujar perwakilan ILP PTNB dalam orasi mereka.
Para peserta aksi tidak hanya menuntut — mereka membawa solusi. ILP PTNB menggandeng DPR RI, Komnas HAM, serta pakar hukum tata negara untuk merumuskan jalan keluar: pemberian status PNS melalui diskresi Presiden. Menurut mereka, ini adalah opsi yang adil, konstitusional, dan tidak membebani anggaran negara.
“Kami tidak minta belas kasihan. Kami minta keadilan yang dijamin konstitusi,” tegas mereka dalam pernyataan tertulis.
Masalah ini bukan sekadar birokrasi. Ini menyentuh inti dari masa depan pendidikan tinggi Indonesia. Bagaimana mungkin pendidikan bisa maju jika fondasinya — para dosen dan tenaga pendidik — terus digantung nasibnya?
Sementara program “Kampus Merdeka” digaungkan pemerintah, realitanya SDM kampus masih “terpenjara” dalam sistem kerja kontrak. Ini adalah alarm keras bahwa reformasi pendidikan tidak bisa hanya berhenti di level kurikulum, tapi harus sampai ke kesejahteraan SDM-nya.
Jika negara benar-benar ingin membangun pendidikan tinggi yang unggul dan berdaya saing, maka sudah waktunya memberikan kejelasan status dan pengakuan yang layak bagi para pejuang di balik kampus-kampus negeri baru. Karena seperti yang mereka serukan, “Kampus Merdeka tak akan bermakna tanpa dosen dan tendik yang merdeka.”tutup ketua orasi.(Djr)