Kabarjagad, Madiun – Insiden dugaan keracunan makanan kembali mengguncang dunia pendidikan di Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun. Puluhan siswa dari SDN Darmorejo 01, SD Kebonagung 02, dan SD Klecorejo mengalami gejala mual, pusing, hingga muntah-muntah setelah menyantap Menu Bergizi (MBG) berupa nasi goreng yang dibagikan pada Kamis siang (27/11).
Sejumlah siswa harus menjalani perawatan intensif, bahkan beberapa di antaranya dirujuk ke RSUD Caruban.
Di tengah proses penanganan medis dan penyelidikan pihak berwenang, muncul satu persoalan krusial yang selama ini jarang mendapat perhatian: minimnya transparansi dari penyelenggara Satuan Pelaksana Program Gizi (SPPG) di sejumlah sekolah.
Program MBG pada dasarnya dirancang untuk meningkatkan kualitas nutrisi anak sekolah. Namun dalam pelaksanaannya, komunikasi antara SPPG dengan masyarakat, orang tua, dan termasuk media sering kali berjalan tertutup. Banyak SPPG enggan memberikan informasi, menolak wawancara, dan tidak membuka akses pemantauan terkait proses pengadaan maupun pengolahan makanan.
Padahal, keterbukaan informasi merupakan elemen penting dalam program yang berkaitan langsung dengan kesehatan dan keselamatan publik terlebih anak-anak. Minimnya transparansi membuat pengawasan masyarakat menjadi lemah. Publik tidak mengetahui secara jelas
siapa penyedia makanan,standar kebersihan dapur,alur distribusi menu,bahan yang digunakan,serta bagaimana kontrol kualitas dilakukan setiap hari.
Hanya sebagian kecil SPPG yang selama ini bersedia terbuka ketika media melakukan pengecekan. SPPG yang kooperatif terbukti lebih mudah diawasi, cepat memberikan klarifikasi, dan sigap melakukan perbaikan jika ditemukan kekeliruan. Sebaliknya, sikap tertutup justru memicu spekulasi dan memperluas ruang potensi penyimpangan.
Kasus dugaan keracunan massal di tiga sekolah di Mejayan menjadi alarm keras bahwa program MBG bukan hanya membutuhkan anggaran, tetapi juga pengawasan ketat yang ditopang oleh transparansi penuh. Di era keterbukaan informasi, publik berhak mengetahui kualitas makanan yang dikonsumsi anak-anak mereka.
Masyarakat, sekolah, pemerintah daerah, dan media diharapkan bersinergi memastikan proses pengadaan serta pengolahan MBG benar-benar sesuai standar kesehatan. Peran media sebagai pengawas publik seharusnya diterima, bukan dihindari. Justru melalui jurnalisme, potensi masalah dapat terdeteksi lebih cepat sebelum berdampak fatal.
Insiden di Mejayan layak menjadi titik balik untuk mendorong SPPG di semua wilayah agar lebih terbuka, lebih komunikatif, dan lebih bertanggung jawab. Tanpa transparansi, program MBG yang sejatinya dirancang untuk meningkatkan kesehatan justru bisa menjadi ancaman bagi keselamatan siswa.(Tim/djr)












