Foto : Kesenian Tiban Kabupaten Kediri.
Kabarjagad.id, Kediri – Kementerian Hukum dan HAM mengesahkan Kesenian Tiban milik Kabupaten Kediri.Tradisi Saling Cambuk, Berawal dari Raja yang Ingin Disebut Dewa.
Mungkin bagi masyarakat di luar Kabupaten Kediri, masih belum tahu Kesenian Tiban dan bagaimana sejarahnya.
Ketua Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Kediri (DK4) Imam Mubarok yang akrap di sapa Gus Barok menjelaskan, sejarah kemunculan Tiban secara turun temurun menjadi cerita rakyat dan dimulai di masa Kerajaan Kadiri.
“Pada saat itu berkuasa seorang raja yang otoriter. Sang raja ingin disebut dewa. Dia adalah Raja Dandang Gendis atau Kertajaya dengan nama Kerajaan Katang Katang,” tutur Gus Barok.
“Sang Raja menuntut rakyat menurut perintahnya dan membuat ketakutan. Wilayah kerajaan Kediri mempunyai empat kademangan yaitu, Kademangan Ngimbang, Megalamat, Jimbun dan Ceker,” kata Gus Barok.
Gus Barok mengatakan, sebelum diperintah raja yang otoriter keadaan masyarakat makmur, segala masalah diselesaikan secara gotong royong. Masyarakat yang lebih dahulu panen membagi kepada para tetangga. Namun setelah Kertajaya berkuasa, keadaan berubah.
“Kerajaan yang semula dalam keadaan makmur, lumbung-lumbung desa penuh padi berangsur-angsur menipis cenderung habis,” ucapnya.
Ia menyampaikan, hal ini terjadi karena kemarau berlangsung sangat panjang. Para petani menganggur karena sawahnya tidak dapat diolah, sungai-sungai mengering. Musim kemarau seakan-akan tidak ada selesainya.
“Segala upaya sudah diusahakan untuk mendapatkan air, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengairan, yang didapat hanya sebatas kebutuhan minum dan kebutuhan dapur. Kemudian diceritakan, Raja Kertajaya yang menganggap sebagai dewa akhirnya mampu dikalahkan oleh Ken Arok / Ken Angrok pendiri Kerajaan Tumapel.Untuk itu para demang bermusyawarah dengan para pinisepuh, beberapa usul, saran dan pendapat, untuk menebus ‘kutukan’ kekeringan tersebut. Rakyat Ngimbang dengan sisa hartanya sedikit diberikan untuk digunakan sebagai syarat pelaksanaan upacara,” terang Gus Barok.
Ia memaparkan, bagi yang masih mempunyai padi dimohon memberikan seikat, dan bagi yang memiliki lembu membawa pecutnya sebagai lambang kekayaannya. Setelah semua siap, kemudian rakyat berkomunikasi dengan kekuatan supranatural. Memohon pengampunan kepada kekuatan Yang Lebih Tinggi.
Selanjutnya sebagai ritualnya, masyarakat menyiksa diri dan berjemur di panas terik. Sarana ini dirasa belum dapat berkomunikasi dengan kekuatan supernatural, maka penyiksaan diri tersebut lebih dipertajam dengan menggunakan pecut yang terbuat dari sodo aren (lidi dari tumbuhan berbuah kolang-kaling atau pohonnya menghasilkan ijuk).
“Proses ritualnya di antara para peserta upacara tradisi ini saling mencambuk secara bergiliran. Sudah barang tentu dalam permainan ini banyak cucuran darah, karena kekhusukannya maka segala yang diderita tidak terasa,” paparnya.
Gus Barok juga menjelaskan, dalam suasana ini kemudian turun hujan yang tidak pada musimnya. Hujan yang semacam inilah yang disebut hujan Tiban. Kegembiraan rakyat Ngimbang beserta pinisepuh tidak dapat digambarkan, bersyukur atas hujan yang turun.
“Demikian kejadian itu yang kemudian upacara tersebut dinamakan Tiban, dan diteruskan oleh masyarakat setempat secara turun temurun, penyelenggaraannya dilaksanakan pada setiap musim kemarau dan diselenggarakan di tengah persawahan atau pasar sewaktu dalam keadaan kering,” pungkas Gus Barok.(mar)